Selasa, 09 Mei 2017

[REVIEW] Bulan Terbelah di Langit Amerika

 
Judul : Bulan Terbelah di Langit Eropa
Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama : Mei 2014
ISBN : 978-602-03-0545-5

"Apa yang akan engkau lakukan jika punya waktu beberapa menit saja untuk menyadari bahwa 'harimu' telah tiba?" hal. 13
Meski telat membaca novel yang pernah booming ini, tak mengurangi rasa antusiasku membacanya. Terima kasih kepada teman yang sudah berbaik hati meminjamkan buku ini.
Novel ini berkisah tentang perjalanan Hanum yang tinggal di Wina bersama suaminya Rangga Almahendra. Takdir yang tak pernah disangka, membawa keduanya akan berangkat ke Amerika. Hanum yang diberikan tugas oleh Gertrud  Robinson untuk menyelamatkan perusahaan koran Heute ist wunderbar. Gertrud yang merupakan atasan Hanum, memberinya tugas ke Amerika untuk meliput peristiwa 11 September. 
Hanum merasa berat menerima tugas ini. Namun, ia tak punya pilihan lain. "Would the world be better without islam"? Bagaimana mungkin Hanum menolak tugas ini dari Gertrud yang juga mendapat tekanan dari dewan direksi? Jika saja orang lain yang akan mengambil tugas ini justru malah membuat nama islam semakin terpojokkan di mata dunia. Tapi bagaimana Hanum harus meramu topik ini agar tidak melecehkan agamanya sendiri?

"Media hanya butuh sensasi. Sensasi untuk menjaga eksistensi dan kehidupannya di tengah persaingan keras." hal. 45

Rangga yang kebetulan memiliki tugas atas idenya sendiri, mengharuskan ia ke Amerika dan menghadiri presentasi Phillip Brown, seorang dermawan yang tak tanggung-tanggung menyumbangkan kekayaannya untuk mendanai korban perang khususnya di Afganistan. Kali ini, diluar dugaannya, Hanum, istrinya juga memiliki tugas di Amerika. Lalu, bagaimana kisah perjalanan Hanum menemukan narasumber yang tepat? Sekitar tiga ribu lebih korban peristiwa pesawat menabrak gedung WTC. Tak satupun dari mereka yang ditemui Hanum bersedia menjadi Narasumber.

Membaca novel ini membuatku lupa keadaan sekitar. hehehe. Novel ini membuat pembaca ikut merasakan kisah yang sangat mendebarkan dari perjalanan Hanum dan Rangga. Sisi religius dalam novel ini sangat menohok pembaca untuk ditilik lebih jauh. Sebuah fakta yang tak lazim, jika negara-negara Eropa dan Amerika menganggap Islam sebelah mata. Wajar saja, jika Hanum mengalami kesulitan mendapatkan narasumber.
Aku merasa iri membaca novel ini, bagaimana kedua penulis yang jadi tokoh utama dalam novel ini dapat menyuguhkan sebuah kisah yang sangat mengulik-ulik sisi emosionalku. Kesan romantis dari keduanya membuat pembaca tersenyum-senyum sekaligus kagum. Aku kagum pada sosok Hanum yang gigih, juga pada Rangga yang menurutku memiliki banyak kejutan.
Ada juga tokoh lain yang muncul dalam novel ini. Michael Jones dan Julia Collins. Bagaimana keduanya memiliki sisi kehidupan yang berbanding terbalik. Jones, yang sangat membenci islam sejak peristiwa 9/11 dan menentang pembangunan masjid di sekitar Ground Zero. Julia yang merasa sangat kehilangan orang yang paling dicintainya harus menelan kepahitan sejak peristiwa 9/11, belum lagi Julia harus menghadapi ibunya sendiri yang sangat membenci islam. Mungkinkah Iman Julia yang muallaf goyah sejak peristiwa 9/11?. Lalu bagaimana cara Hanum meyakinkan mereka untuk menjadi narasumber? sementara itu, waktu yang dimiliki Hanum sangat sedikit.
Ada juga detik-detik yang sangat menegangkan saat membaca novel ini. Saat dimana Hanum dan Rangga terpisah karena insiden di salah satu tempat di Amerika. Apakah Rangga bisa menemukan Hanum ?
"Aku selalu merasa energi tali komunikasi yang paling kuat antara sepasang suami istri yang saling mencintai adalah Telekomunikasi hati. Ketika tak ada lagi peranti yang menjembatani keduanya untuk berbicara satu sama lain, kekuatan hati adalah ujung tombak yang tak tergantikan." hal. 106


Alur yang ada dalam novel ini kebanyakan alur maju. Sehingga pembaca bisa cepat mengerti setiap detail kisah dalam novel ini. Juga ending yang membuatku terperangah. 
Selain itu, aku cukup terhibur membaca novel ini, seakan ikut menjelajah negeri paman Sam, menguak fakta-fakta lain tentang keberadaan islam di Amerika, bagaimana sebuah patung yang dipahat dan bertuliskan nama nabi Muhammad, lalu keberadaan museum yang menyimpan banyak sejarah dimana Julia bekerja. Bahasa yang digunakan pun ringan sehingga tidak berbelit-belit karena terkadang, saat membaca novel bernilai sejarah, kadang aku harus berhenti sejenak untuk memahami sisi historis dalam novel tersebut.

"Setiap pertemuan selalu menyisakan perpisahan, cepat atau lambat. Manusia boleh mencintai manusia lain, tapi tak boleh melebihi cintanya pada sang Khalik." hal. 180
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sumber : https://pena-edelweiss.blogspot.co.id/2016/09/review-bulan-terbelah-di-langit-eropa.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar