Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama : Mei 2014
ISBN : 978-602-03-0545-5
"Apa yang akan engkau lakukan jika punya waktu beberapa menit saja untuk menyadari bahwa 'harimu' telah tiba?" hal. 13
Meski telat membaca novel yang pernah booming ini, tak mengurangi rasa antusiasku membacanya. Terima kasih kepada teman yang sudah berbaik hati meminjamkan buku ini.
Novel
ini berkisah tentang perjalanan Hanum yang tinggal di Wina bersama
suaminya Rangga Almahendra. Takdir yang tak pernah disangka, membawa
keduanya akan berangkat ke Amerika. Hanum yang diberikan tugas oleh
Gertrud Robinson untuk menyelamatkan perusahaan koran Heute ist wunderbar. Gertrud yang merupakan atasan Hanum, memberinya tugas ke Amerika untuk meliput peristiwa 11 September.
Hanum merasa berat menerima tugas ini. Namun, ia tak punya pilihan lain. "Would the world be better without islam"?
Bagaimana mungkin Hanum menolak tugas ini dari Gertrud yang juga
mendapat tekanan dari dewan direksi? Jika saja orang lain yang akan
mengambil tugas ini justru malah membuat nama islam semakin terpojokkan
di mata dunia. Tapi bagaimana Hanum harus meramu topik ini agar tidak
melecehkan agamanya sendiri?
"Media hanya butuh sensasi. Sensasi untuk menjaga eksistensi dan kehidupannya di tengah persaingan keras." hal. 45
Rangga
yang kebetulan memiliki tugas atas idenya sendiri, mengharuskan ia ke
Amerika dan menghadiri presentasi Phillip Brown, seorang dermawan yang
tak tanggung-tanggung menyumbangkan kekayaannya untuk mendanai korban
perang khususnya di Afganistan. Kali ini, diluar dugaannya, Hanum,
istrinya juga memiliki tugas di Amerika. Lalu, bagaimana kisah
perjalanan Hanum menemukan narasumber yang tepat? Sekitar tiga ribu
lebih korban peristiwa pesawat menabrak gedung WTC. Tak satupun dari
mereka yang ditemui Hanum bersedia menjadi Narasumber.
Membaca
novel ini membuatku lupa keadaan sekitar. hehehe. Novel ini membuat
pembaca ikut merasakan kisah yang sangat mendebarkan dari perjalanan
Hanum dan Rangga. Sisi religius dalam novel ini sangat menohok pembaca
untuk ditilik lebih jauh. Sebuah fakta yang tak lazim, jika
negara-negara Eropa dan Amerika menganggap Islam sebelah mata. Wajar
saja, jika Hanum mengalami kesulitan mendapatkan narasumber.
Aku
merasa iri membaca novel ini, bagaimana kedua penulis yang jadi tokoh
utama dalam novel ini dapat menyuguhkan sebuah kisah yang sangat
mengulik-ulik sisi emosionalku. Kesan romantis dari keduanya membuat
pembaca tersenyum-senyum sekaligus kagum. Aku kagum pada sosok Hanum
yang gigih, juga pada Rangga yang menurutku memiliki banyak kejutan.
Ada
juga tokoh lain yang muncul dalam novel ini. Michael Jones dan Julia
Collins. Bagaimana keduanya memiliki sisi kehidupan yang berbanding
terbalik. Jones, yang sangat membenci islam sejak peristiwa 9/11 dan
menentang pembangunan masjid di sekitar Ground Zero. Julia yang merasa
sangat kehilangan orang yang paling dicintainya harus menelan kepahitan
sejak peristiwa 9/11, belum lagi Julia harus menghadapi ibunya sendiri
yang sangat membenci islam. Mungkinkah Iman Julia yang muallaf goyah
sejak peristiwa 9/11?. Lalu bagaimana cara Hanum meyakinkan mereka untuk
menjadi narasumber? sementara itu, waktu yang dimiliki Hanum sangat
sedikit.
Ada
juga detik-detik yang sangat menegangkan saat membaca novel ini. Saat
dimana Hanum dan Rangga terpisah karena insiden di salah satu tempat di
Amerika. Apakah Rangga bisa menemukan Hanum ?
"Aku
selalu merasa energi tali komunikasi yang paling kuat antara sepasang
suami istri yang saling mencintai adalah Telekomunikasi hati. Ketika tak
ada lagi peranti yang menjembatani keduanya untuk berbicara satu sama
lain, kekuatan hati adalah ujung tombak yang tak tergantikan." hal. 106
Alur
yang ada dalam novel ini kebanyakan alur maju. Sehingga pembaca bisa
cepat mengerti setiap detail kisah dalam novel ini. Juga ending yang
membuatku terperangah.
Selain
itu, aku cukup terhibur membaca novel ini, seakan ikut menjelajah
negeri paman Sam, menguak fakta-fakta lain tentang keberadaan islam di
Amerika, bagaimana sebuah patung yang dipahat dan bertuliskan nama nabi
Muhammad, lalu keberadaan museum yang menyimpan banyak sejarah dimana
Julia bekerja. Bahasa yang digunakan pun ringan sehingga tidak
berbelit-belit karena terkadang, saat membaca novel bernilai sejarah,
kadang aku harus berhenti sejenak untuk memahami sisi historis dalam
novel tersebut.
"Setiap
pertemuan selalu menyisakan perpisahan, cepat atau lambat. Manusia
boleh mencintai manusia lain, tapi tak boleh melebihi cintanya pada sang
Khalik." hal. 180
Sumber : https://pena-edelweiss.blogspot.co.id/2016/09/review-bulan-terbelah-di-langit-eropa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar